6 Oktober 2015, pukul 11.15 WIB.
Di sela rutinitas, saya memandangi website yang terbuka di hadapan saya, www.nusantarun.com. Perhatian tertuju ke tanggal registrasi yang hari itu sudah mencapai hari terakhir.
Keraguan terbesar memuncak. Saya, yang biasanya memiliki kepercayaan diri yang cukup tinggi, tertegun dalam diam saat itu.
135 km bukanlah jarak yang pendek. Bukanlah perjuangan yang mudah dan kamu tidak memiliki bekal untuk berlari sejauh itu.
Telepon berdering.
Ini sebuah kegiatan yang baik. Sebuah kegiatan yang memberikan manfaat kepada sesama. Tuhan memberikan kita 2 tangan, agar kita lebih banyak berbuat, dibandingkan sekedar berbicara.
Sebuah e-mail masuk. Urgent. Saya harus membalasnya.
Waktu istirahat akan segera datang dalam 30 menit ke depan, ketika akhirnya jari-jari saya mengisi form pendaftaran Nusantarun Chapter 3.
10 Oktober 2015, pukul 10.50 WIB.
SELAMAT !!!
Anda terpilih untuk menjadi pelari dalam NusantaRun Chapter 3 Kategori Relay.
1 November 2015, pukul 11.50 WIB.
Jurian Andika :
Mat
Partnerlo Jala Seskananto.
ps : Jurian Andika, salah satu orang hebat dibalik NusantaRun, yang saya kenal setahun lalu saat mengikuti BTS.
9 November 2015, pukul 8.27 WIB
@bintangmamat :
Mas Alan
Saya Topik NR3
Menurut Mas Jurian kita partner an nih
@alanjala :
Wiiih siap
Akhirnya dapat partner juga
Hehehehe
3 November 2015, pukul 9.26 WIB.
Untuk kesekian kalinya, saya melakukan sharing kepada rekan-rekan saya mengenai NusantaRun Chapter 3. Aktifitas yang dilakukan oleh semua peserta, melalui jalur komunikasi apapun yang bisa dipergunakan, baik online maupun offline.
Sebuah balasan pesan saya terima dari salah seorang rekan : “ Jangan terlalu memaksa Mat, nyarinya sehat aja, bukan ambisi atau gengsi, kecuali emang kita atlit. Inget umur ! “.
Saya hanya tersenyum, seraya membalas : “Gue ambil positifnya dari komentar elu yah”.
Memang tidak mudah berbagi kebaikan. Tetapi saya percaya, semua niatan yang baik, Insya Allah akan dipermudah.
Banyak yang terjadi setelah tanggal itu. Ada yang membuat telinga cukup memerah bila mendengarnya, tapi tak sedikit yang membuat tekad saya semakin bulat dan kuat.
Perasaan saya semakin bergemuruh menjelang hari H.
18 Desember 2015, pukul 13.15 WIB.
Kendaraan yang saya tumpangi mulai bergerak dari bilangan Sudirman Jakarta, menuju Bandung. Ibukota dari Propinsi Jawa Barat yang akan menjadi awal dari Nusantarun Chapter 3 ini. Beberapa rekan (yang kebanyakan baru saya kenal) pun sudah mulai bertolak menuju titik yang sama, Kantor Walikota Bandung.
Antusiasme dari semua pihak yang tergabung dalam running movement ini sangat besar.Bagi saya, memberikan tambahan semangat, yang memang sangat saya butuhkan.
18 Desember 2015, pukul 22.45 WIB.
Rombongan pelari kategori full dan pelari pertama kategori relay mulai melangkahkan kaki dengan bersemangat. Seiringin lambaian bendera start yang diangkat oleh Kang Emil, Walikota Bandung (hatur nuhun sawangsulna Kang).
Orang-orang hebat menyusuri jalan, dengan sebuah tujuan baik, berbagi dengan sesama.
19 Desember 2015, pukul 10.10 WIB.
Rekan saya dalam kategori relay baru saya mencapai finish, Check Point (CP) 4 yang berada di KM 58. Terlihat lelah, tapi gurat bahagia tergambar jelas. Ada kebanggaan bagi dirinya untuk menutup langkah di bawah garis finish. Senyum bahagia anak-anak Indonesia membahana.
Saya mulai berlari, 10 menit kemudian.
19 Desember 2015, pukul 11.40 WIB.
Kedua kaki saya menapaki aspal yang cukup panas saat itu, bersama dengan seorang rekan. Pemandangan yang jarang saya lihat terhampar di sisi kiri dan kanan jalur yang kami lewati, bergantian dengan deru kendaraan bermotor. Tujuan kami adalah CP 5, yang berjarak lebih kurang 18 km dari CP4 atau di KM 76.
Terkadang hadir pembicaraan singkat namun bermakna. Berbagi cerita. Tetapi tak jarang pula hanya deru nafas yang saya dengar.
Ketika beberapa kilometer terjejak oleh kedua kaki saya, malang tak dapat ditolak, kedua kaki saya terkilir, karena menapaki permukaan yang tidak rata. Saya berhenti sejenak, demikian pula rekan saya (terima kasih Mas Nugi atas kesabarannya).
Selang tak berapa lama, kamipun kembali berlari. Walaupun beberapa kilometer setelah itu kami berdua terduduk, menikmati kelapa muda, yang entah bagaimana, menjadi minuman yang teramat sangat nikmat. I said, heaven !!.
Pembicaraan ringan kembali terjadi. Sampai akhirnya kami kembali menapaki jalan.
Buah dari latihan yang kurang maksimal, membuat saya lebih banyak berlari denga pace lambat, dimana beberapa rekan menyebutnya sebagai pace romantis. Saya hanya berpikir, alon alon sing penting kelakon (pembelaan klasik).
Dalam beberapa menit, Mas Nugi telah berlari jauh di depan saya.
Perlahan saya mendekatkan jarak dengan CP 5, di KM 76. Berdasarkan informasi, CP tersebut akan berlokasi di Rumah Makan Padang !.
Barisan menu mulai berjajar dalam benak saya. Tunjang, ayam bakar (for sure), cumi kari, jengkol (if I’m lucky enough), perkedel, ayam pop, dan sayur daun singkong dengan taburan sambal hijaunya.
It works for me. Saya semakin percaya diri untuk berlari. Oh iya, saya ingin menambah nasi juga.
Ah, tapi takdir berkata lain, ternyata Tuhan punya rencana lain di CP 5.
Sejenak saya melupakan barisan menu yang perlahan namun pasti memudar, seperti layaknya asap dari pembakaran sampah di depan rumah yang kerap saya lakukan beberapa belas tahun silam di rumah Nyai (Nenek) saya.
Teman saya pernah berkata, when God closes a door, He opens a window. Here it goes, I got the window.
Barisan orang-orang hebat lainnya yang tergabung dalam team relawan, bekerja dengan suka hati, suka rela dan penuh semangat, menyambut kami dengan kehangatan. Lelah saya lenyap (pun demikian dengan barisan menu dalam benak saya).
Mereka tidak kenal saya dan saya pun belum mengenal mereka, tetapi apa yang mereka lakukan telah membuat saya mengubah makna dari sebuah kepedulian. Kepedulian terhadap sesama.
Saya beristirahat , dengan beberapa rekan lainnya. Tak berapa lama saya mendapatkan treatment untuk kedua kaki saya, mulut dan perut dan juga jiwa saya.
19 Desember 2015, pukul 14.15 WIB.
Saya meninggalkan CP 5, dengan diiringi gegap gempita orang-orang hebat. Saya membalas mereka dengan ucapan terima kasih dan tentunya dengan senyum manis yang terhias dan dibumbui lesung pipit andalan.
Oiya, kali ini saya diiringi oleh marshall sepeda.
Tujuan berikutnya adalah CP 6, yang berjarak lebih kurang 13 km ke CP 6. Kenapa saya menggunakan kata “lebih kurang” ?, karena kepastian hanya milik Tuhan. Oiya, CP 6 ini akan berada di KM 89.
Cuaca bersahabat sore itu. Kendaraan bermotor lalu lalang dengan intensitas sedang. Dan drama seru dalam batin saya dimulai disini.
Kedua kaki saya kembali terasa nyeri, saya tidak mampu membawanya berlari. Akhirnya saya hanya berjalan. Benar-benar berjalan. B E R J A L A N.
Saya dilewati oleh beberapa peserta lainnya. Mereka meninggalkan senyum. Saya melambaikan tangan, tetapi tidak ke kamera, karena ini bukan acara uji nyali.
“Lari darimana Pak?”. Beberapa orang di pinggir jalan sempat bertanya.
“Dari Bandung Pak”.
“Terus mau lari sampai mana?” lanjutnya
“Sampai Cirebon, Pak”.
“Masya Allah, jauh juga yah”.
Dalam hati saya hanya bergumam, masih lebih jauh jarak hatiku ke hatinya Pak.
Marshall sepeda tetap mendampingi saya, walaupun, karena merasa tidak enak hati dengan kelambatan saya sendiri, saya sudah meminta beliau untuk melaju terlebih dahulu. Tapi beliau menolak, seraya berkata “tugas kami adalah mendampingi pelari Pak, sampai finish”.
Saya terharu. Saking terharunya, saya mampir ke Indomaret, untuk mendinginkan diri. Dan tentunya membeli minuman isotonik yang hits seantero negeri itu, untuk diberikan kepada Pak Marshall.
Tapi beliau menolak. Duh Gusti, tidak hanya perempuan, ternyata lelakipun menolak saya.
Saya sedih. Sekelebat muncul sosok Cita Citata, sambal berdendang ‘Sakitnya tuh disini, di dalam hatiku’ (dengan gaya duduk di ayunan, dan telapak kanan kanan disentuhkan ke bagian kiri atas dari dada).
Tapi yang membuat saya lebih sedih adalah kejadian di sekitar KM 82, dimana saya mulai mempertanyakan kembali makna hidup saya dan juga menanyakan kenapa saya mau berlari sejauh ini. Saya down saat itu. Karena lelah dan juga karena saya tidak mampu berlari.
Kemudian sebuah skenario bergulir di benak saya : (1) Saya akan mengundurkan diri, (2) Memohon maaf kepada para pendukung acara termasuk para donator dan (3) Menikmati empal gentong.
Tapi kemudian saya bertanya kembali kepada diri saya, jika saya diperkenankan untuk mengundurkan diri, lalu (1) Bagaimana caranya saya sampai ke Cirebon? Kan belum tentu panitia memiliki ruang di kendaraan mereka dan (2) Apakah warung empal gentong masih buka?.
Kemudian saya lelah sendiri. Hening. Air mata menggenang di kedua sudut mata saya.
Apakah kalian pernah merasa bahwa God works in mysterious way?. It happened. Ketika saya mencapai kelelahan fisik dan psikis di sekitar 2 km menjelang CP 6, saya melihat tulisan yang tertempel di pohon yang berada di kiri jalan. Lebih kurang berbunyi “Fokus dengan tujuan awal anda untuk berlari. Tetap Jaga Diri”.
And yes, just like that, saya merasa tertampar. Seorang Mamat tidak seperti ini. Seorang Mamat adalah sosok tangguh yang mampu melakukan segala sesuatu dengan tuntas. Bagi yang ingin tau kenapa tiba-tiba tokoh Mamat muncul dalam kisah ini, silakan klik link ini.
Perlahan namun pasti saya kembali memiliki semangat untuk berlari (atau berjalan). Perlahan, namun pasti. Dan Pak Marshall sepeda masih mendampingi saya.
Saya tersenyum lebar, ketika tampak di depan saya ada sebuah SPBU yang bertuliskan CP 6, diiringi dengan sorak sorai gembira para orang hebat lainnya.
Saya semakin bersemangat. Semakin B E R S E M A N G A T. Tetap berjalan. Terus berjalan, menuju sumber suara.
“Pak, lari dong, jangan jalan” teriak seorang sopir truk yang melaju dengan kecepatan 60km / jam.
Abaikan.
Ada orang-orang hebat di hadapan saya.
10 menit kemudian, saya terlelap dalam tidur. Tersenyum. Seraya bermimpi tentang sopir truk yang berteriak ke saya sebelumnya.
19 Desember 2015, pukul 19.45 WIB.
Next destination, CP 7.
Kembali saya BERJALAN menyusuri jalan utama, di malam minggu ceria. Catat, MALAM MINGGU. Bersama seorang rekan yang baru saya kenal.
“Lari bareng yah?” ajak saya. “Pace Romantis yah”.
“Oke, Pace Romantis yah. Tapi gue mau romantis sama elu yah”. Jawabnya.
Duh Gusti, saya ditolak lagi.
Tak lama berselang kami kembali berjalan. Bersisian. Banyak cerita yang terjadi. Rekan saya ini ternyata seorang wirausahawan, penyuka lari dan punya strategi dalam berlari. Dia bercerita banyak tentang pekerjaannya dan juga kecintaannya terhadap lari.
Cerita terus bergulir, dengan semangkuk sop ayam dan pecel lele goreng di hadapan kami.
Pengunjung lain tampak melihat kami berdua dengan takjub. Dua sosok mempesona dengan balutan kaos dry fit merk Nike warna kuning ngejreng dan Kaos Adidas ukuran L berwarna Orange. Keduanya saling berhadapan dengan terpisahkan oleh makanan dan juga air kobokan.
Kami tidak memperdulikan mereka, karena kami lapar. Karena lapar, maka kami makan. Kami Lapar. Titik.
Bayangan menu nasi padang menjelang CP 5 kembali berkelebat di hadapan saya.
Selang hampir satu jam kemudian, kami kembali disambut oleh orang-orang hebat di CP 7.
19 Desember 2015, pukul 23.45 WIB.
Kami bersiap untuk melanjutkan perjalanan ke CP 8. Hari akan segera berganti.
“Malam minggu ngapain disini Mbak? Meriksain kaki orang pula” tanya saya ke tim dokter di CP 7 yang berlokasi di KM 99.
“Emangnya gak ada yang nyariin?” tanya saya lagi.
Mbak dokter manis tersenyum saja. “Gak kok Pak” imbuhnya singkat. Tapi sambil tersenyum manis.
Saya shock, “saya dipanggil BAPAK”. Saya segera mengecek kartu identitas saya. Dan setuju dengan Mbak dokter manis tadi.
“Mbak, punya obeng gak?” tanya saya memecah keheningan. Maaf, bukan keheningan sih tepatnya, tetapi lebih kepada suasana gegap gempita di tengah malam dengan iringan lagu kebangsaan yang diputar terus menerus tanpa henti.
“Buat apa Pak? Gak punya lah”. Mbak dokter manis tersenyum.
“Tapi kalau nomor handphone ada dong?”
Saya bersyukur, panitia tidak mengijinkan penggunaan suntik bius.
Dalam beberapa menit kemudian, suasana mulai sepi. Tidak ada lagi pembicaraan mengenai apapun saat itu. Kami, 6 orang pria dewasa, terdiam dengan langkah gontai. Tetap berjalan.
Entah siapa yang memulai, kemudian kami terkapar di warung kosong di pinggir jalan. Tertidur. Pulas. Dengan sempurna.
Saya tertidur sambil tersenyum, berharap Mbak dokter manis memiliki obeng.
20 Desember 2015, pukul 00.30 WIB.
Kami kembali memulai perjalanan berharap segera menemukan CP 8. Halusinasi melihat lampu yang menyala akhirnya membawa kami ke sebuah lokasi tempat penyaluran hasrat manusia yang paling dasar. Kami singgah di ……… Warung Remang-remang, yang menjual Nasi Goreng. Ehmm, ini Warung Makan yah maksudnya.
6 porsi penuh nasi goreng. 6 gelas teh panas, literally, 2 bungkus kerupuk, segera perlahan namun pasti hilang dari hadapan kami.
2 bungkus tolak angin dibuka.
Tak lama berselang, ada 3 orang lain yang bergabung. Kami berbicara tentang hidup dan teori relativitasnya Einstein. Yeah right.
Tiba-tiba muncul pertanyaan kejutan, “Apa yang kita cari?”. Semua tertawa. Oiya, salah satu orang yang datang belakangan tadi, alisnya masih tertata dengan rapih. Salute Sis !.
Saya membuka aplikasi Duel Otak.
20 Desember 2015, pukul 01.30 WIB.
Look, it’s a bird.
It’s a plane.
No, it’s a Check Point.
Terbelalak mata kami demi melihat apa yang ada di 200 meter di hadapan. It’s a real CP 8 !, yang berlokasi di KM 113 (seharusnya). Tetapi konon malah berlokasi di KM 109.
Ya, ternyata CP 8 ini lebih kurang 4 km lebih awal dari jarak yang sebelumnya diinformasikan kepada kami.
Kami bersyukur. Kami tertawa. Kami kembali bertemu orang-orang hebat yang bekerja tanpa kenal lelah.
Kemudian kami terlelap. Saya bermimpi tentang alis anti badai.
20 Desember 2015, pukul 04.30 pagi.
Kami bergegas meninggalkan CP 8. Jalanan masih gelap. Belum banyak kendaraan bermotor yang lalu lalang.
Saya belajar banyak dalam perjalanan menuju CP 9, Check Point terakhir. Kami melakukan interval dengan berlari sepanjang 200 meter dan berjalan sepanjang lebih kurang 500 meter. Dan saya berada di paling belakang.
“Saya ingin menjadi sweeper” dalih saya.
Matahari mulai menampakkan sinarnya. Wajah-wajah kami mulai nyata terlihat. Lelah, tetapi tetap ada raut bahagia. Luar biasa.
Rombongan menjadi lebih besar. Suasana lebih hidup. Dan kami mendapatkan potongan buah Semangka, yang saat itu terasa seperti caviar goreng tepung.
Ah, saya bahagia. Ternyata banyak orang-orang hebat di sekitar saya. Kami terus berjalan dan berlari menuju Check Point selanjutnya.
Bersemangat.
“Tolong saya, blister” kalimat pertama saya begitu menapaki CP 9 yang berlokasi di Batik Trusmi atau di KM 121.
“Udah check in belum?” tanya seorang Mbak-mbak yang duduk di balik tiang. Saya yakin, itu Mbak-mbak deh.
Saya didampingi oleh orang-orang hebat lagi. Yang bekerja dengan hati yang gembira.
Mereka tidak peduli dengan aroma badan dan kaki saya. Mereka tetap memegang kaki saya dengan lembut, kadang ditusuk pake jarum steril dan akhirnya dibungkus dengan kain kassa.
Kalau mereka bisa memperlakukan kaki saya seperti itu, saya yakin merekapun dapat memperlakukan pasangan mereka dengan baik. (Sorry, sounds weird). Semoga keberkahan selalu beserta kalian yah.
20 Desember 2015, pukul 07.20 WIB.
Saya meninggalkan CP 9. Matahari sudah muncul dengan sempurna. Panas.
Seorang rekan menyusul saya. Jarak dari CP 9 menuju garis finish, di Kantor Walikota Cirebon diinformasikan sekitar 8 km.
Tapi bagi saya, saat itu, jarak tersebut seolah-olah menjadi Full Marathon. Matahari bersinar dengan sempurna.
“Kantor Walikota masih jauh Pak?” tanya saya kepada tukang becak.
“Kantor Walikota masih jauh Pak?” tanya saya kepada sopir angkot.
“Kantor Walikota masih jauh Pak?” tanya saya kepada Pak Satpam
“Bapak punya Obeng?”. Saya halusinasi.
Saya merasa aneh, justru di 8 KM terakhir itu saya mampu berlari secara konsisten, sama seperti di KM awal saya berlari.
“Kantor Walikota masih jauh Pak?” tanya saya kepada salah seorang relawan.
“3 KM lagi, Mas. Ayo Semangat !!”.
“Another 3 km to go Mat !”. Saya berdialog.
Ingat, Senyum Kemenangan Berada di depan anda, 5 KM lagi. Sebuah tulisan di spanduk menghentak.
Another PHP moment.
“Kantor Walikota masih jauh Dek?”. tanya saya kepada rombongan anak sekolah, generasi penerus bangsa yang harus kita bina dengan sebaik-baiknya.
“Sebentar lagi Pak”. jawab mereka kompak bak paduan suara.
Gusti, saya dipanggil BAPAK. Tetapi saat itu saya tidak mengeluarkan kartu identitas.
Saya terus berlari. Saya memandangi sepatu lari saya. “Abis ini harus diganti nih”. Saya berdialog dengan sepatu.
Tampaknya kalau sedang halusinasi, saya memiliki moment keakraban dengan segala komponen yang ada di sekitar saya.
“Mat, Cirebon Express jam 10 yah”. Saya berdialog dengan electronic ticket.
Saya terus berlari. Run Mamat, Run !!!.
Senyum saya semakin mengembang (senyum dengan lesung pipit andalan) melihat 2 orang relawan yang siap-siap membidik. Belajar dari pengalaman, maka dalam hitungan millisecond, saya merapikan postur tubuh dan membalikkan topi agar muka saya lebih terlihat. Sukses.
“Kantor Walikota masih jauh Mas?” tanya saya kepada Mas relawan.
“Itu Mas, sedikit lagi, perempatan belok kiri”.
Gusti, alhamdulillah, saya gak dipanggil BAPAK.
Daaan, mas relawan tadi benar, setelah saya belok, gegap-gempita orang-orang hebat terpampang di hadapan saya.
Mereka menyemangati saya. Memberikan high five dan bertepuk tangan.
Saya ingin bertepuk tangan juga.
50 meter menjelang finish. Saya menangis. Saya terharu. Saya mengucapkan syukur, karena masih diberikan kesempatan untuk melakukan hal ini.
25 meter menjelang finish. Sambutan orang-orang hebat di hadapan saya semakin membahana. Teriakan penyemangat dari anak-anak Indonesia membuat tangis saya semakin menjadi. Tangis dalam hati.
Di bawah garis finish, saya bersimpuh, bersujud.
Terima Kasih ya Allah, atas segala karunia-Mu.
Terima Kasih.
20 Desember 2015, pukul 10.00 WIB.
Kereta bertolak dari Stasiun Cirebon. Saya adalah salah seorang penumpangnya.
Kalimat syukur tak putus saya ucapkan.
*****
Tulisan ini saya buat sebagai bentuk apresiasi saya yang setinggi-tingginya kepada semua orang hebat yang bekerja tanpa pamrih di NusantaRun Chapter 3 ini. Merupakan sebuah kehormatan bagi saya, untuk menjadi bagian dari movement ini.
Semoga Tuhan memberkahi apa yang kita lakukan dan selalu memberikan kemudahan untuk melanjutkan ke Chapter berikutnya.
Tangerang, Jakarta dan sepanjang perjalanan menuju Jogjakarta.
Mamat.
www.bintangmamat.com
#CeritaNusantarun #TerusSekolah #UntukIndonesia #NusantaRun